SEJARAH BATANG TORU

Muara sungai Lumut menuju Angkola via Batang Toeu
Apakah ada sejarah Batang Toru? Jawabnya, ada. Tapi darimana kita memulainya?  Sepintas agak samar, tetapi masih bisa ditelusuri.  Hanya saja jangan menelusuri ke hulu atau ke hilir sungai. Sebab nama Batang Toru baru muncul kemudian. Mulailah menelusuri dengan memahami dua arah sisi sungai yang berlawanan: ke arah barat di pantai dan ke arah timur di pegunungan. Oleh karena itu origin sejarah Batang Toru tidak dimulai dari sungai Batang Toru sendiri, tetapi secara tidak langsung (vis-à-vis) karena dua hubungan tempat: yang berjauhan Barus (di barat) dan Angkola (di timur).
 
Pemahaman teoritis ini juga ternyata kemudian berulang kembali pada era kolonial Belanda. Lanskap Batang Toru awalnya masuk Onderafdeeling Ankola, Afdeeling Mandheling en Ankola tetapi kemudian dipisahkan dan dimasukkan ke Afdeeling Sibolga en Ommnenlanden. Lalu kemudian lanskap Batang Toru kembali lagi menjadi bagian dari Onderafdeeling Ankola, Afdeeling Padang Sidempuan. Hal lainnya: ibukota Residentie Tapanoeli awalnya di Sibolga, lalu pernah pindah ke Padang Sidempuan tetapi kemudian kembali lagi ke Sibolga.Lantas, apa gerangan yang membuatnya demikian? Mari kita lacak!
 
Jalur perdagangan kuno Angkola-Barus
 
Barus sudah dikenal sejak jaman perdagangan kuno. Suatu tempat dimana pedagang-pedagang Ceilon, India, Persia, Arab dan Mesir melakukan pembelian produk-produk alami seperti kamper dan kemenyan. Pada waktu itu hanya Tanah Batak yang menghasilkan dua produk komersial dunia itu. Ini secara langsung menjelaskan bahwa keberadaan penduduk Batak mendahului munculnya pelabuhan Barus sebagai pelabuhan ekspor-impor dunia. Penduduk Batak yang mengusahakan kamper dan kemenyan ini mentransfer ke Barus untuk dipertukarkan dengan produk luar seperti garam, besi dan kain.
 
 
Salah satu koridor aliran produk-produk alami itu yang juga jalur produksi adalah sungai Lumut via Batangtoru menuju Angkola. Keutamaan jalur ini karena produk-produk bernilai tinggi yang berasal dari Angkola tidak hanya kamper dan kemenyan tetapi juga emas. Popularitas Angkola sebagai sumber produksi produk perdagangan dunia besar kemungkinan tidak mampu diungguli oleh jalur-jalur perdagangan ke pedalaman seperti sungai Singkel, sungai Sorkam dan sungai Batahan. 
 
Banyak jalur dari pantai menuju Angkola, tetapi daerah yang disebut kemudian Batang Toru merupakan jalur yang paling mudah dilalui dari pantai menuju Angkola. Satu-satunya rintangan terbesar hanya melintasi sungai Batang Toru. Pernah suatu ekspedisi militer Belanda melakukan ekplorasi dari Angkola ke pantai barat melewati pegunungan yang disebut penduduk lokal sebagai pegunungan setan. Oleh karenanya, satu-satunya jalur terbaik dari Angkola ke pantai hanyalah melalui jalur Batang Toru. Inilah keutamaan Batang Toru dalam perdagangan Angkola ke Barus atau sebaliknya.
 
Pedagang-pedagang Ceilon dan India tampaknya yang paling tertarik memasuki pedalaman Tanah Batak. Pedagang-pedagang India mulai merintis perdagangan langsung ke pusatnya di Angkola. Boleh jadi ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri ke TKP sekaligus membangun pusat perdagangan di Tanah Batak agar lebih mudah mengontrol volume dan kualitas komoditi alami (kamper, kemenyan dan emas) yang diperdagangkan di Barus. Dinamika inilah yang besar kemungkinan menyebabkan munculnya koloni-koloni asing di pedalaman Tanah Batak. Orang-orang Ankola dari India selatan membuat koloni di Simangambat (adanya candi Simangambat abad kedelapan) dan orang-orang Panai dari Ceilon membuat koloni di Padang Bolak (candi Padang Lawas). Secara geografis dua lanskap ini sangat berdekatan tetapi terhalang oleh pegunungan, namun masih bisa dilalui di Siaboe dan Pijorkoling. Kedua lokasi ini terhubung oleh sungai besar yang kemungkinan besar munculnya nama sungai Batang Angkola.    
 
Ekspedisi Miller ke Angkola dan Perjalanan Pedagang Tionghoa ke Barus
 
Charles Miller melakukan ekspedisi ke Angkola tahun 1772 (lihat buku The Hostory of Sumatra by William Marsden, 1811). Charles Miller--yang dipandu penunjuk jalan dan kuli angkut memulai perjalanan dari Pulau Pontjang, suatu pos perdagangan Inggris di teluk yang disebut Teluk Tapanoeli. Dengan kapal kecil berangkat tanggal 21 Juni 1772 hingga tiba di muara sungai Lumut. Kampung-kampung yang dilalui adalah tempat tinggal orang-orang Batak hingga tiba di Hutarimbaru di Angkola. Salah satu catatan Miller di Angkola adalah sebagai berikut: 'Di sini saya bertemu dengan hal yang luar biasa semacam semak berduri yang disebut penduduk sebagai Andalimon, yang berbentuk bulat yang memiliki rasa pedas yang sangat menyenangkan di lidah dan mereka menggunakan dalam gulai (kari) mereka'.
 
Miller menemukan andaliman (sinyarnyar) di Angkola 1772
 
Dari muara sungai Lumut ini kemudian dilanjutkan dengan sampan menelusuri sungai hingga bertemu sebuah perkampungan Batak. Setelah bermalam dilanjutkan besoknya ke kampong Lumut (yang diduga sebagai cikal bakal Huta Lumut). Pada berikutnya di Si Tarong (kini menjadi huta Anggoli?) dan Tappolen, Sikka dan Si Pisang di tepi sungai Batang Toru (perjalanan tiga sampai empat hari ke hilir di pantai). Kami melanjutkan perjalanan dengan menyisir sungai ke utara. Oleh karena sungai meluap dan tidak bisa menyeberang lalu bermalam lagi di tempat yang tidak nyaman. Kami melintasi punggung bukit yang sangat curam dan perjalanan ke kampong bernama Koto Lambong (Huta Lambung) dan seterusnya hingga Terimbaru (Hutaimbaru), sebuah kampong besar di tepi selatan dataran Ankola  (05 Juli 1772).
 
Tampaknya hanya satu kampong di tepi sungai Batang Toru (Sipisang) dan tempat penyeberangan berada di utara (yang boleh jadi di tempat dimana muncul nama huta Batang Toru). Jalan yang ditempuh Miller besar kemungkinan jalan yang sudah dikenal sejak doeloe. Pada tahun 1701 seorang pedagang Tionghoa (bersama istrinya orang Angkola dan satu putri) melakukan perjalanan sebaliknya dari Angkola menuju Barus untuk melakukan pelayaran ke Batavia. Laporan pedagang Tionghoa ini (yang dimuat dalam Catatan Kastil Batavia, 1701) hanya mengungkapkan lama perjalanan dari Angkola ke Barus yang ditempuh selama 11 hari. Lamanya perjalanan pedagang Tionghoa ini tampaknya bersesuaian dengan laporan lamanya perjalanan yang dibuat Miller (dari Pulau Poncang dan Angkola).
 
Pemetaan wilayah oleh Jung Huhn
 
Sungai Batang Toru dan Gunung Lubuk Raya (1840)
Laporan berikutnya baru ditemukan pada setengah abad kemudian ketika Jung Huhn (dan Rosenberg) melakukan ekspedisi geologi pada tahun 1840 dari Teluk Tapanoeli ke Angkola. Titik pangkal perjalanan Jung Huhn masih sama dengan Miller. Namun bedanya, Jung Huhn telah menyebutkan nama sungai Batang Toru. Meski Jung Huhn tidak menyebut adanya nama suatu tempat, besar kemungkinan di sekitar tempat penyeberangan sungai Batang Toru ini sudah terdapat perkampungan. Tempat penyeberangan ini sudah terdapat suatu jembatan suspensi yang terbuat dari rotan (bahasa lokal: rambin). Dua lukisan Rosenberg (rambin dan gunung Lubuk Raya masing-masing dengan latar sungai Batang Toru) dalam perjalanan Jung Huhn ini mengindikasikan tiga penanda yang penting yakni keberadaan sungai Batang Toru, ketersediaan jembatan penyeberangan dan gunung Lubuk Raya tempat dimana di lerengnya banyak terdapat kampung-kampung.
 
Dari tiga laporan dari era yang berbeda tersebut (1701, 1772 dan 1840) dalam interval waktu sekitar 70 tahun ada indikasi bahwa jalur tersebut adalah jalur perdagangan lama dari Barus ke Angkola dan sebaliknya dan penduduk semakin meningkat populasinya di sepanjang jalur ini. Disebut jalur perdagangan lama. Dalam peta terbitan 1830 nama-nama yang ditandai dalam jalur perdagangan adalah pelabuhan Baroes, pelabuhan Tapanolij dan pelabuhan Natal. Satu nama lagi yang ditandai adalah suatu tempat di pedalaman yakni Hoeraba. Nama Hoeraba tampaknya lebih penting dari nama-nama yang pernah disebut sebelumnya seperti Lumut dan Sipisang.
 
Pada tahun 1840 sebuah garnisun dibangun di tempat dimana lokasinya di dekat kampong Padang Sidempuan. Garnisun ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan strategis colonial Belanda setelah Mandailing, Angkola dan Padang Lawas secara keseluruhan berhasil dibebaskan dari padri (1837-1839). Sebelum adanya garnisun pusat militer Belanda berada di benteng Pijorkoling (dibangun tahun 1835). Pada tahun 1841 pemerintahan sipil di Mandheling en Ankola dibentuk dimana seorang controleur ditempatkan di Angkola. Awalnya ibukota Angkola di Pijorkoling namun pada tahun 1843 dipindahkan ke tempat dimana garnisun berada. Pada tahun 1843 controleur mulai membangun kota baru, dengan nama Padang Sidempuan (mengikuti nama kampong yang berada di sebelah utara ke arah Hutarimbaru bernama kampong Sidempuan). Belanda sendiri mulai menganeksasi Tanah Batak tahun 1833 dimulai dari Natal kemudian membangun benteng di Panjaboengan (disebut benteng Elout). Antara tahun 1833-1837 militer Belanda lebih berkonstrasi dalam Perang Bonjol (Tuanku Imam Bonjol) dan baru kemudian 1837-1839 konsentrasi dengan Perang Pertibi (Tuanku Tambusai).
 
 
Rute militer Tapanoeli ke Portibi via Pijor Koling (1838)
Sebelum Jung Huhn tiba di Batang Toru tahun 1840, tiga tahun sebelumnya (1837) terdapat rute militer dari kamp militer di Tapanoeli untuk mendukung kekuatan dalam Perang Portibie. Rute in dimulai dari Teluk Tapanoeli ke Loemoet (16 pal), Tabolon (15 pal), Hoeraba (15 pal), Sigoemoeroe (? Pal) dan Pijor Koling (?pal) dan terus ke Batang Onang (19 pal). Dalam peta militer ini Batang Toru cukan sebagai pos militer karena Batang Toru berada diantara Sabolon dan Hoeraba (karena alasan jarak tempuh perjalanan infantry). Namun yang jelas rute militer ini seakan mengikuti (kembali) jalur lama dalam perdagangan awal dari pantai melalui Loemoet ke Angkola. Selain nama Batang Toru tidak disebut, juga nama Sibolga dan Padang Sidempuan tidak disebut (karena memang belum menjadi tempat yang penting).
 
Keberadaan Sibolga sendiri baru muncul kemudian (1843?) ditempat dimana kini kota Sibolga dipilih sebagai tempat kantor controleur (pindah dari Pulau Pontjang). Nama ibukota ini Sibolga mengikuti nama kampong yang berada di sebelah utara ke arah Barus yang bernama kampong Sibalga. Pendirian kota Sibolga kurang lebih sama dengan tahun pendirian kota Padang Sidempuan (1843).
 
Pada tahun 1846 Gubernur Sumatra’s Westkust Jenderal Michiel bersama tamunya Jenderal von Gagern (utusan Raja) berkunjung ke Padang Sidempuan yang menempuh perjalanan beberapa hari dari Padang. Ketika rombongan Gubernur ini pulang ke Padang, jalur yang ditempuh melalui Sibolga, kemudian dari Sibolga berlayar ke Padang (lihat Algemeen Handelsblad, 09-12-1847). Asisten von Gagern (Clereq) mengabadikan rambin yang pernah dilukis Rosenberg dalam satu lukisan. Ini menunjukkan (sekali lagi) bahwa rambin dan sungai Batang Toru adalah penanda rute perjalanan yang penting. Satu lukisan yang dihasilkan oleh Clercq adalah sebuah pos militer di tepi sungai Batang Ayumi di Padang Sidempuan.
  •